Kesadaran bahwa belajar adalah proses menjadi
dirinya sendiri (process of becoming person) bukan proses untuk dibentuk
(process of beings haped) menurut kehendak orang lain, membawa kesadaran
yang lain bahwa kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client
dalam proses pemikiran: apa yang mereka inginkan, apa yang dilakukan, menentukan
dan merencanakan serta melakukan tindakan apa saja yang perlu untuk memenuhi
keinginan tersebut. Inti dari pendidikan adalah menolong orang belajar
bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka
sendiri untuk berkembang dan matang, dengan mempertimbangkan bahwa mereka juga
sebagai makhluk sosial.
Kegiatan belajar yang melibatkan individu
atau client dalam proses menentukan apa yang mereka inginkan, apa yang
akan dilakukan, adalah beberapa prinsip dari teori belajar Andragogi. Teori
belajar Andragogi sering juga disebut dengan teori belajar orang dewasa.
Makalah ini akan membahas tentang Teori Belajar Andragogi tersebut dan
membahas kelemahan serta keunggulannya.
Teori Belajar
Andragogi
1. Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno:
"aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus
yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan
sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata
"paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau
memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau
pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian
pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka
apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan
bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan.
Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik
pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training/Teaching).
2. Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam
publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang
diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang
dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan
oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan
dalam kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa
sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah
di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh
gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode
panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung
kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya
Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan,
yang memiliki talenta, memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak
berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu
menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa
lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan
bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan
dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki
kelebihan, yakni di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh
orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa
dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari
nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang
sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal
istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan
Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme
pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
Anarkisme pendidikan.
Ø Liberalisme pendidikan bertujuan
jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada
dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.
Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut
pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup
besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara
untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan
potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah
bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada
siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan
juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam
pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata
lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan
program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa.
Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung
oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan
dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana
pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas
kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah).
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis,
Ø Anarkisme pendidikan beranggapan
bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan
kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat
masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik
terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat
perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan
cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
3. Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar
Andragogi
Malcolm
Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok
asumsi sebagai berikut:
o
Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang
bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah
pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih
tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena
kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain
sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination),
mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa
tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan
atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
o
Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan
perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah
kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan
berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang
individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang
bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan
memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau
pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal
seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih
mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal
dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar
Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan
penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih
banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah
lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya
untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
o
Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang
sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh
kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan
sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau
biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan
perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja,
orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi
pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran
perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
o
Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak
orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk
memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter
Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan
memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang
dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar
bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan
fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini
disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa,
belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu
segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu
hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa
belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih
tinggi. Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau
pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat
praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4. Andragogi dan Psikologi Perkembangan
Seperti telah disebutkan di atas bahwa
dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep
dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan
diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri.
Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki
kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan
psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir
dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir
formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat
memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat
memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah
tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai
mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan
anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti
keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu
di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan
membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan
nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan
kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai
mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda
(tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan
menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang
dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak
pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan
"pengertian diri" (sense of identity).
Pembelajaran yang diberikan kepada orang
dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana
pembimbing (pelatih, pengajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak
terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun
mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan
alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang
pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima
gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan
mereka. Orang dewasa pada hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana
seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam
upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam
pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih
aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran,
terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang
membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama
temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat
pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran
pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu
menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar bagi orang
dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya,
segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu
dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka,
hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran
orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada
akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa
kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah
terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang
berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya
suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya
tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang
dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang
bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa
dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat
membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di
dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan
diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi
kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala
bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau
dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam
segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan
dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan
bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan,
kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi
yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan
pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam
pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya
mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan
tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan,
dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang
berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana
belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau
mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan
mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru
mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu
sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada
akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu.
Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan
dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh
anggota kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan
itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja
memiliki perbedaan.
5.
Pengaruh Penurunan Faktor Fisik dalam Belajar
Proses
belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life education).
Namun, ada korelasi negatif antara pertambahan usia dengan kemampuan belajar
orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya,
akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya
semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar,
kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya
sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan
perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup
saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui
pendidikan. Menurut Verner dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor
yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu
program pendidikan:
§ Dengan bertambahnya usia, titik
dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai
bergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas
suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun titik
dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
§ Dengan
bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat
secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu
diperhatikan dalam pengadaan dan pengunaan bahan dan alat pendidikan.
§ Makin
bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu
situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt
cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun
seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
§ Makin
bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada
spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga
cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya
warna-warna-warna lembut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang
kontras utuk alat-alat peraga.
§ Pendengaran
atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya
seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam
pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal
ini daripada wanita. Hanya 11 persen dari orang berusia 20 tahun yang mengalami
kurang pendengaran. Sampai 51 persen dari orang yang berusia 70 tahun ditemukan
mengalami kurang pendengaran.
§ Pembedaan bunyi
atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia.
Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya,
dan bunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara
orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.
6.
Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah
pokok untuk mempraktikkan Andragogi adalah sebagai berikut:
a.
Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat
dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang
kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
1) Pengaturan
Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah
satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk
itu perlu dibuat senyaman mungkin:
a)
Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b)
Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan
kondisi fisik orang dewasa;
c)
Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya
memungkinkan terjadinya interaksi social.
2)
Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim
psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa
merasa diterima, dihargai dan didukung.
a)
Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung;
b)
Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina
Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c)
Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa
rasa takut;
d)
Mengembangkan semangat kebersamaan;
e)
Menghindari adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah;
f)
Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama.
3)
Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan
lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta
pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a)
Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang
terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b)
Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang
diharapkan;
c)
Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
d)
Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan
kompetensi tertentu.
4)
Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan
hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak
langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu
"hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia
bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka
terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a)
Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut
penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain;
b)
Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut
pelatihan tersebut;
c)
Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang
diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d)
Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait
siapa melakukan apa dan kapan.
5)
Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis
hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah
selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses
perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam
bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut di atas.
6)
Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan
arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis
antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar,
kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus
diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan
waktu yang sesuai.
7)
Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam
menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a)
Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada
pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b)
Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada
aplikasi praktis;
c)
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat
pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta;
d)
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih
bersifat partisipatif.
8) Peranan
Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk
diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah
cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam
melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a)
Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah
mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b)
Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta
pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c)
Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d)
Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara
partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait
yang terlibat;
e)
Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program;
f)
Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap
dan perilaku.
Perbandingan
Asumsi dan Model Pedagogi dan Andragogi
Dari uraian
tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis
dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang
menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam
pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject
Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya
peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak
murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo
Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini
dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
·
Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan
yang bersifat standard dan kaku;
·
Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda
& teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran;
·
Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
;
·
Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil
belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat
pengetahuan;
·
Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu
proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam
andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan
fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan
melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
·
Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri;
·
Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif;
·
Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik Merumuskan tujuan-tujuan
program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
·
Merencanakan pola pengalaman belajar
·
Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang
memadai
·
Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan
belajar. Ini adalah model proses.
Lebih detail
tentang perbedaan pedagogik dan andargogi sebagai berikut:
Asumsi
|
Pedagogik
|
Andragogi
|
|
1
|
Kosep
tentang diri peserta didik
|
Peserta
didik digambarkan sebagai seseorang yang bersifat tergantung. Masyarakat
mengharapkan para guru bertanggung jawab sepenuhnya untuk menentukan apa
yang harus dipelajari, kapan, bagaimana cara mempelajarinya, dan apa
hasil yang diharapkan setelah selesai
|
Adalah
suatu hal yang wajar apabila dalam suatu proses pendewasaan, seseorang akan
berubah dari bersifat tergantung menuju ke arah memiliki kemampuan
mengarahkan diri sendiri, namun setiap individu memiliki irama yang
berbeda-beda dan juga dalam dimensi kehidupan yang berbeda-beda pula. Dan
para guru bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara kelangsungan
perubahan tersebut. Pada umumnya orang dewasa secara psikologis lebih
memerlukan penga- rahan diri, walaupun dalam keadaan tertentu mereka bersifat
tergantung.
|
2
|
Fungsi
Pengalaman peserta didik
|
Di sini
pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik tidak besar nilainya, mungkin
hanya berguna untuk titik awal. Sedangkan penglaman yang sangat besar
manfaatnya adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari gurunya, para
penulis, produsen alat-alat peraga atau alat-alat audio visual dan pengalaman
para ahli lainnya. Oleh karenanya, teknik utama dalam pendidikan adalah
teknik penyampaian yang berupa: ceramah, tugas baca, dan penyajian melalui
alat pandang dengar.
|
Di sini
ada anggapan bahwa dalam perkembangannya seseorang membuat semacam alat
penampungan (reservoair) pengalaman yang kemudian akan merupakan
sumber belajar yang sangat bermanfaat bagi diri sendiri mau pun bagi orang
lain. Lagi pula seseorang akan menangkap arti dengan lebih baik tentang apa
yang dialami daripada apabila mereka memperoleh secara pasif, oleh karena itu
teknik penyampaian yang utama adalah eksperimen, percobaan-percobaan di
laboratorium, diskusi, pemecahan masalah, latihan simulasi, dan praktek
lapangan.
|
3
|
Kesiapan
belajar
|
Seseorang
harus siap mempelajari apapun yang dikatakan oleh masyarakat, dan hal ini
menimbulkan tekanan yang cukup besar bagi mereka karena adanya perasaan takut
gagal, anak-anak yang sebaya diaggap siap untuk mempelajari hal yang sama
pula, oleh karena itu kegiatan belajar harus diorganisasikan dalam suatu
kurikulum yang baku, dan langkah-langkah penyajian harus sama bagi semua
orang.
|
Seseorang
akan siap mempelajari sesuatu apabila ia merasakan perlunya melakukan hal
tersebut, karena dengan mempelajari sesuatu itu ia dapat memecahkan
masalahnya atau dapat menyelesaikan tugasnya sehari-hari dengan baik. Fungsi
pendidik di sini adalah menciptakan kondisi, menyiapkan alat serta prosedur
untuk membantu mereka menemukan apa yang perlu mereka ketahui. Dengan
demikian program belajar harus disusun sesuai dengan kebutuhan kehidupan
mereka yang sebenarnya dan urutan-urutan penyajian harus disesuaikan dengan
kesiapan peserta didik.
|
4
|
Orientasi
belajar
|
Peserta
didik menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan,
dan mereka memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat di kemudian
hari. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sesuai dengan unit-unit mata
pelajaran dan mengikuti urutan-urutan logis ilmu tersebut , misalnya dari
kuno ke modern atau dari yang mudah ke sulit. Dengan demikian, orientasi
belajar ke arah mata pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan
keterselesaian nya mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan.
|
Peserta
didik menyadari bahwa pendidikan merupakan suatu proses peningkatan
pengembangan kemampuan diri untuk mengembangkan potensi yang maksimal dalam
hidupnya. Mereka ingin mampu menerapkan ilmu dan keterampilan yang
diperolehnya hari ini untuk mencapai kehidupan yang lebih baik atau lebih
efektif untuk hari esok. Berdasarkan hal tersebut di atas, belajar harus
disusun ke arah pengelompokan pengembangan kemampuan. Dengan demikian
orientasi belajar terpusat kepada kegiatannya. Dengan kata lain, cara
menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan yang
bagaimana yang diharap kan ada pada peserta didik.
|
Keunggulan dan Kelemahan Teori Belajar Andragogi
Kegiatan
pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah memiliki daerah dan
kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan
masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah
orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan
pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi
kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau
realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan
dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Andragogy
memiliki kelemahan, salah satunya adalah bahwa bagaimana mungkin seorang siswa
yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu kemudian dibebaskan memilih
apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang
mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah
pendidikan itu dilakukan? Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap
ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa,
tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan
memilih jika ada persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya
siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata
pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah,
kurang bagi, dll.
Kesimpulan
Teori Belajar Adragogi dapat diterapkan
apabila diyakini bahwa peserta didik (siswa-mahasiswa-peserta) adalah
pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti
diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya.
Andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang
dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur
sebuah kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang
orang yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang, menjadi tua adalah suatu
keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu
memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar