Orang tua terutama diharapkan mempunyai pemahaman konseptual
tentang perkembangan dan cara belajar anak tersebut. Pemahaman konseptual
tersebut meliputi gambaran tentang siapa anak tersebut dan bagaiamana mereka
berkembang, yang mencakup tentang karakteristik perkembangan kanak-kanak pertengahan
dalam berbagai aspek fisik biologis, kognitif, bahasa, dan psikososial. Selain
itu diperlukan adanya pemahaman tentang prinsip-prinsip belajar anak,
proses-proses psikologis yang terjadi dalam belajar anak serta peran motivasi
dalam belajar anak.
Dengan bekal pemahaman konseptual tersebut, guru dan orang tua diharapkan
dapat mengaplikasikan pemahaman tersebut dalam menyelenggarakan proses
pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan kanak-kanak pertengahan.
Definisi Perkembangan Psikososial
Apa itu perkembangan psikososial?
Perkembangan psikososial adalah perkembangan
yang membahas tentang perkembangan kepribadian manusia khususnya yang berkaitan
dengan emosi, motivasi dan perkembangan kepribadian.
PEERS
1.Peers
Memasuki tahun-tahun untuk sekolah
dasar, adalah perubahan yang paling penting
pada perubahan anak. Penelitian memperkirakan persentasi dari
menghabiskan waktu dalam interaksi sosial dengan sesama meningkat sekitar 10 persen pada tahun kedua dan 30 persen pada masa
pertengahan dan akhir kanak-kanak(
Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).
Awalnya, hari-hari biasa di sekolah
dasar terhitung sekitar 300 episode dengan sesamanya. Anak bepindah melalui
masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, ukuran dari group mereka meningkat, dan
interaksi sesama menjadi kurang erat saat dewasa.
Dalam suatu investigasi , diketahui anak-anak berinteraksi dengan teman-teman
sebaya 10%dari waktu siang mereka pada usia 2 tahun, 20% antara usia 7 dan 11
tahun. Episode bersama teman-teman sebaya berjumlah 299 per hari sekolah.
Kebanyakan interaksi teman sebaya terjadi
diluar rumah (walaupun dekat dengan rumah), lebih sering terjadi di tempat-tempat
pribadi daripada di tempat umum, dan lebih sering terjadi diantara anak-anak
yang sama jenis kelamin daripada diantara anak-anak yang berbeda jenis kelamin.
2.Peer Status
Mana anak yang akan menjadi populer
dengan anak sesamanya dan mana yang tidak disukai ? ilmu perkembangan
mengalamatkan dan memeriksa pertanyaan yang mirip dari sociometric status,
sebuah istilah menggambarkan tingkat untuk mana anak yang disukai atau yang
tidak disukai oleh teman sebayanya.
Jenis
sosimetrc status dinilai berdasarkan anak-anak diminta untuk menilai berapa banyak teman sekelas mereka yang
menyukai atau yang tidak menyukai mereka. Atau mungkin dinilai berdasarkan anak diminta untuk menunjuk mana anak yang paling
mereka sukai dan yang kurang mereka sukai.
Ilmu perkembangan mengemukakan lima peer status:
·
Popular Children sering dikelompokkan sebagai sahabat, dan
jarang tidak disukai dalam rekan sebaya mereka.
·
Average Children menerima jumlah rata-rata dari kedua
nominasi positif dan negatif dari teman
sebaya mereka.
·
Neglected Children kurang dikelompokkan sebagai sahabat
tetapi bukan tidak disukai oleh teman sebaya
mereka.
·
Rejected Children jarang dikelompokkan sebagai seorang
sahabat dan sering tidak disukai oleh teman sebaya mereka.
·
Controversial Children sering dikelompokkan menjadi dua
sebagai sahabat dan menjadi yang paling
tidak disukai.
Anak yang populer memiliki kemampuan
sosial yang membuat mereka disukai. Mereka memberi penguatan, pendengar yang baik,
mempertahankan komunikasi yang saling terbuka dengan sebaya, menyenangkan,
mengontrol emosi negatif mereka, bertindak seperti mereka, menunjukkan
antusiasme dan perhatian pada yang lainya, dan self-confident tanpa menjadi
sombong.
Anak yang ditolak sering memiliki
masalah adaptasi yang serius dibandingkan anak yang kurang perhatian . suatu
study menemukan bahwa di TK anak-anak yang ditolak teman sebayanya kurang
berpartisipasi dalam kelas , lebih berekspresi menghindari sekolah dan lebih
menyendiri dibandingkan anak yang diterima teman sebaya.
John coie menyediakan tiga alasan mengapa anak agresif
yang ditolak mempunyai masalah dalam
hubungan sosial:
1.
Pertama,
Penolakan anak laki-laki yang agresif adalah
lebih impulsif dan memiliki masalah mempertahankan
perhatian. Sebagai hasilnya, mereka
lebih cenderung untuk mengganggu
kegiatan yang sedang berlangsung di
kelas dan dalam bermain kelompok.
2.
Kedua, anak laki-laki yang agresif biasanya
emosionalnya lebih reaktif. Dengan mudahnya mereka menimbulkan kemarahan dan
mungkin sulit untuk meredakan kemarahanya tersebut. Karena itu, mereka
cenderung cepat marah kepada teman sebaya dan menyerang mereka secara verbal
dan fisik.
3.
Ketiga, anak yang ditolak memilki sedikit
kemampuan sosialnya dalam berteman dan menjaga hubungan positif teman
sebayanya.
Bagaimana supaya anak yang ditolak itu
lebih efektif dengan teman sebayanya? Tujuan program-program pelatihan bagi
anak-anak yang diabaikan haruslah untuk menolong mereka menarik perhatian
teman-teman sebaya mereka dengan cara-cara yang positif dan mempertahankan
perhatian dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan , mendengarkan dengan cara
yang hangat dan bersahabat, dan bila berbicara
mengenai diri sendiri mereka sendiri, bicarakanlah hal-hal yang menarik
minat teman sebaya . mereka juga diajarkan untuk memasuki kelompok secara lebih
efektif.
3.Social
Cognition
Seorang anak laki-laki tanpa sengaja
menyenggol dan menjatuhkan minuman ringan seorang teman sebaya. Teman sebaya
itu salah menginterpretasikan senggolan tersebut sebagai permusuhan, yang membuatnya
membalas secara agresif terhadap anak laki-laki itu. Bila senggolan seperti ini
sering terjadi, maka teman-teman sebaya lain akan menganggap anak laki-laki itu
agresif karena sering berprilaku yang tidak tepat.
Kenneth
Dogde (1983)
berpendapat bahwa anak-anak melampaui lima tahap dalam memproses informasi
tentang dunia sosial mereka:
1.
Membaca kode/sandi isyarat-isyarat sosial.
2.
Menginterpretasikan.
3.
Mencari suatu respon.
4.
Memilih suatu respon yang optimal.
5.
Bertindak.
Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak
yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial
yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Kelly
& De Armas, 1989;
Weisberg,Caplan, & Sivo,
1989).
Anak laki-laki yang tidak mengalami
masalah penyesuaian diri dengan teman sebayanya mengajukan lebih banyak
alternatif pemecahan yang lebih tegas dan matang, memberi pemecahan agresif
terhadap masalah yang kurang tegang, memperlihatkan perencanaan yang lebih
dapat menyesuaikan diri, dan mengevaluasi tanggapan agresif yang secara fisik
kurang positif dibandingkan anak-anak yang mengalami masalah-masalah penyesuaian diri dengan teman
sebaya.
4.Agresi
.
Seperti yang sudah disebutkan pelaku agresi cendrung tidak suka,tetapi
ank laki-laki yang agresi secara fisik dan beberapa anak perempuan yang agresif
secara relasional di angap yang paling popular dalam kelas.
Dalam penelitian longitudinal terhadap kelompok multietnis yang
berjumlah 905 anak kelas 5-9 di kota timur laut AS,agresi fisik makin kurang di
terima seiiring perkembangan anak-anak menuju masa remaja dan agresi relasional
kian bertambah yang di perkuat oleh status tinggi di antara teman sebaya.
Bentuk-Bentuk Agresi dan proses informasi Sosial
Para pelaku agresi instrumental (atau proaktif) memandang paksaan dan
intimidasi sebagai cara efektif
mendapatkan apa yang mereka inginkan.Mereka bertindak sengaja,bukan
mengeluarkan rasa marah.Dalam istilah belajar social,mereka agresif karena mengharapkan di berikan ganjaran;dan ketika mereka diberi
ganjaran,keyakinan mereka dalam keefektifan agresi yang diperkuat.
1.Agresi Instrumental :
Instrumental aggression (agresi yang di tunjukkan untuk pencapaian suatu
tujuan).Perilaku agresif yang digunakkan sebagai alat untuk mencapai suatu
tujuan,kekhasan masa prasekolah menjadi sangat berkurang(Coie&Dodge,1998).
2. Agresi Permusuhan :Hostile aggression (agresi yang di tunjukkan untuk
menyakiti target agresi).Perilaku agresi yang dimaksud untuk menyakiti orang
lain,sering kali berbentuk relasional (sosil) daripada terbuka (fisik).Anak
yang berusia 9 tahun mengenali perilaku seperti menggoda dan menyebar desas
desus sebagai sesuatu yang kejam ; mereka menyadari bahwa hal tersebut berasal
dari rasa marah dan di tujukan untuk menyakiti orang lain (Crick,Bigbee,dan
Howes,1996;Crick Et Al.,2002;Galen & Underwood,1997)
Anak dapat bertindak secara
agresif salah satunya di akibatkan
karena adanya kesalahan pada saat proses social yaitu lingkungan social apa
yang mereka perhatian dan bagaimana mereka menginterprestasikan apa yang mereka
rasakan (Crick dan Dodge, 1994, 1995)
Aggressor memandang kekuatan dan paksaan sebagai cara
efektif untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan.
Dalam terminology pembelajaran social, mereka agresif karena
mereka berharap mendapatkan imbalan, maka keyakinan mereka akan efektivitas
agresi menjadi dikuatkan (Crick & Dodge, 1996)
4.Apakah Kekerasan di Televisi Mengarahkan Anak kepada Agresi?
Anak-anak, terutama yang orang tuanya menggunakan disiplin
yang kejam, lebih rentan terhadap pengaruh kekerasan di televisi ketimbang
orang dewasa (Coie & Dodge 1998).
Pada saat anak menonton kekerasan di
televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang digambarkan dan menjadi memandang
agresi sebagai perilaku yang dapat diterima. Semakin besar posisi televisi,
semakin besar efek merusak yang tampak.
anak usia 8-12 tahun tampaknya sangat
mudah terpengaruh (Eron & Huesmann, 1986). Dalam studi lanjutan, jumlah jam
menonton televisi pada usia 8 tahun, dan kecenderungan terhadap tayangan aksi
pada anak laki-laki, memprediksi tingkat keparahan serangan kriminal pada usia
30 tahun (Huesmann & Eron, 1984 ).
5.Bullying
Bullying adalah suatu tindakan penindasan
seorang anak terhadap anak yang lemah.Tindakkan yang disengaja dan terus menerus diarahkan kepada target atau korban
tertentu dan berssifat
menurun atau berubah bentuk, biasanya dilakukan kepada mereka yang lemah, rentan dan tidak terlindung, menarik diri dari
lingkungan sosial.Peninindasan juga merupakan masalah dalam Negara maju
lainnya seperti di inggriss dan jepang (Hara,2002;Kanetsuna &
smith,2002;Ruiz & Tanaka,2001)di jepang dan korea,penindasan di sekolah
telah di hubungkan dengan gelombang bunuh diri siswa serta pikiran dan perilaku
bunuh diri yang mangkin meningkat (Kim,Koh,dan
Leventhal,2005;Rios-Ellis,Bellhmy,&Shoji,2000)
Menurut survei pada
hampir enam belas ribu siswa di Amerika Serikat
yang merupakan kelas enam sampai sepuluh adalah pelaku penindasan atau
korban penindasan. Penindasan juga merupakan masalah pada negara maju seperti
inggris dan jepang, seperti di jepang atau korea, penindasan disekolah telah
dihubungkan dengan bunuh diri siswa serta pikiran dan perilaku bunuh diri yang
meningkat.
Tindakkan
penindasan meningkat
selama masa transisi ke sekolah menengah. Peningkatan ini bisa mencerminkan
kesulitan anak membentuk jaringan sosial disekolah. Mereka terutama anak
laki-laki , menggunakan tindakan menggangu sebagai cara untuk membangun dominasi
dalam kelompok sebaya (di takuti)
Pola-pola
penindasan dan korban bisa terbentuk dengan stabil sedini masa TK.Sebagaimana
kelompok teman sebaya sementara terbentuk,para pelaku agresi segera mengetahui
anak mana yang muda di tindas.Penindasan dan agresi meningkat selama transisi
ke sekolah menengah dan kemudian menurun.Peningkatan sementara dalam penindasan
ini bisa mencerminkan kesulitan anak membentuk jaringan social di sekolah
baru.Selama transisi ini,terutama anak laki-laki,menggunakan penindasan sebagai
cara untuk membangun dominansi dalam kelompik teman sebaya.
. Anak laki-laki cenderung menjadikan anak laki-laki yang lain sebagai
korban dan
anak perempuan penindas cendrung m menjadikan anak perempuan lainya
sebagai target. Semakin bertambahnya usia, kebanyakan anak-anak dapat belajar
cara mencegah penindasan. Korban penindasan cenderung cemas , patuh, dan mudah
menangis atau suka bertengkar dan
provokatif.
Anak-anak yang melakukan penindasan
cenderung memiliki sedikit teman dan
tinggal didalam lingkungan keluarga yang kasar dan penuh hukuman yang membuat
anak tersebut rentan terhadap hukuman atau penolakan. Kasus penindasan dikanada
terjadi pada anak-anak yang kelebihan berat badan. Dalam penelitian, ternyata
yang menjadi pelaku penindasan adalah dahulunya adalah korban penindasan.
Anak-anak cemas dan menarik diri dari lingkungan mungkin menjadi
korban karena mereka tidak mengancam pelaku penindasan dan tidak mungkin untuk
membalas jika diganggu, tetapi bila anak-anak yang agresif mungkin terjadi
target penindasan karena perilaku mereka yang mengiritasi pelaku.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa
pelaku dan korban penindasan pada masa remaja mungkin untuk mengalami, depresi
dan mencoba bunih diri. Penelitian lain baru-baru ini mengungkapkan
bahwa pelaku dan korban memiliki lebih banyak masalah kesehatan (seperti sakit
kepala, pusing, masalah tidur dan kecemasan).
Pencegahan penindasan olweus,
diciptakan oleh olweus, program ini berfokus pada anak umur 5-6 tahun, dengan
tujuan mengurangi kesempatan dan manfaat untuk penindasan. Pegawai sekolah
diperintahkan dengan cara-cara untuk meningkatkan hubungan teman sebaya dan
membuat sekolah lebih aman.
Jika pencegahan ini dilakukan dengan benar,
dapat mengurangi penindasan sekitar 30-70 persen. Informasi ini diperoleh dari
pusat kekerasan di Universitas Colarado.
Step to respect merupakan program
penindasan yang terdiri dari 3 langkah:
·
Menetapkan pendekatan sekolah, seperti membuat kebijakan
anti penindasan dan menetapakan konsekuensi untuk pelaku penindasan.
·
Pelatihan karyawan dan orangtua untuk berhadapan dengan
penindasan.
·
Mengajarkan siswa untuk mengenali, tidak mentolerir dan
menangani penindasan.
Informasi diberikan kepada siswa kelas
3 sampai 6. Dan pelatihan keterampilan untuk guru-guru selama 12-14 minggu,
sebuah penelitian baru menemukan bahwa langkah-langkah step to respect dapat
mengurangi penindasan.
Seperti persahabatan orang dewasa,
persahabatan anak-anak juga biasanya ditandai dengan kesamaan. Mereka sering
menyebut teman jika memiliki sikap yang sama, pendidikan yang sama, prestasi
yang sejajar.
Williard hartup mempelajari hubungan dan
persahabatan dan selama lebih dari 3 dekade. Dia menyimpulkan bahwa
teman-teman dapat menjadi sumber daya
kognitif dan emosional dari masa kecil sampai masa tua. Teman dapat memupuk
harga diri dan rasa kesejahteraan.
Persahabatan anak-anak memiliki 6
fungsi:
·
Companionship.
Persahabatan membuat anak akrab dengan
teman bermain, seseorang yang bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan
bergabung dalam kegiatan kebersamaan atau kolaboratif.
·
Stimulation.
Persahabatan membuat anak-anak
mempunyai informasi yang menarik, kesenangan dan hiburan.
·
Physical support.
Persahabatan menyediakan waktu, sumber
daya dan bantuan.
·
Ego support.
Persahabatan memberikan harapan, dorongan
yang membantu anak mempertahankan kesan dirinya sebagai kompeten, individu yang
menarik, dan bermanfaat.
·
Social comparison.
Persahabatan menyediakan informasi
tentang hubungan anak dengan orang lain dan apakah anak melakukan yang baik.
·
Affection and intimacy.
Persahabatan memberikan anak sebuah
hubungan yang hangat dan dekat, saling percaya dengan orang lain. Keintiman
dalam persahabatan ditandai dengan berbagai tentang pengalaman pribadi.
Tapi penelitian mengungkapkan bahwa
persahabatan intim mungkin tidak muncul sampai awal masa remaja.
Keuntungan perkembangan terjadi ketika
anak-anak memiliki teman yang secara sosial terampil dan mendukung. Namun, terkadang dapat juga
menimbulkan konflik diantara persahabatan.
Pada siswa kelas 6 yang tidak memiliki
teman terlibat dalam perilaku sosial yang kurang ( kerjasama, berbagai, membantu orang
lain) , memiliki nilai lebih rendah dan
lebih emosional ( depresi ) dibandingkan teman-temannya yang dapat
bersosialisasi.
Anak
Di
Dalam Kelompok Teman Sebaya
1.Friends
(Hubungan anak dengan Teman sebaya)
Pada masa prasekolah anak-anak bermain
dengan teman sebayanya namun ketika masa sekolah anak-anak tidak lagi bermain
dengan teman sebayanya yang artinya berkelompok . Anak yang bermain bersama biasanya
memiliki status social ekonomi usia yang sama,walaupun kelompok bermain
dilingkungan rumahnya terdiri dari berbagai tingkatan usia (Hartup,1992).
Pada dasarnya anak perempuan biasanya lebih dewasa
dibandingkan dengan anak laki-laki dan anak laki-laki berbicara dan bermain
dengan anak perempuan,atau sebaliknya,dilakukan dengan cara yang berbeda
(Hibbard & Bhrmester,1998).
Dalam masa
kanak-kanak tengah,kelompok teman sebaya sangat bermanfaat.Kelompok terbentuk
secara alami di antara anak-anak berdekatan satu sama lain atau yang pergi
kesekolah bersama ;dengan demikian,kelompok teman sebaya sering kali terdiri
dari anak-anak yang memiliki rasa tau asal suku bangsa yang sama dan status
social ekonomi yang serupa.Anak-anak yang bermain bersama-sama biasanya usianya
berdekatan dan berjenis kelamin sama.Kelompok anak laki-laki lebih konsisten
mengejar kegiatan berjenis gender,tetapi anak perempuan lebih cendrung terlibat
dalam kegiatan ‘’LintasGender’’,seperti tim olahraga,yang di anggap penting
oleh baik anak laki-laki dan perempuan (Mc Hall,Kim,White
man,&Crouter,2004)
2.POPULARITAS
Popularitas
menjadi lebih penting di masa kanak-kanak tengah.Mereka yang tidak di terima
teman sebayanya atau agresif cenderung mengembangkan masalah psikologis,seperti
keluar dari sekolah atau menjadi nakal(Hartup,1992;Kupersmidt &
Coie,1990;Morison & Masten,1991;Miucomb,Bukowski, dan Pattee,1993;Parker
& Asher,1997)
Popilaritas dapat di ukur dengan 2 cara
dan hasilnya dapat berbeda.Para peneliti dapat mengukur:
Ø A.Popularitas
Sosiometrik: dengan menanyakkan kepada anak-anak mengenai teman sebaya mana
yang paling mereka suka dan paling mereka tidak suka.
Penelitian
seperti ini sudah mengidentifikasi 5 kelompok status teman sebaya:
1.Populer (mereka yang menerima nominasi
positif)
2.Ditolak (mereka yang menerima banyak
nominasi negative)
3.Diabaikan
(mereka yang menerima sedikit nominasi dari 2 nominasi)
4.Kontroversial (mereka yang banyak menerima nominasi
positif dan negative)
5.Rata-rata
(mereka yang tidak merima jumlah nominasi yang tidak biasa dari 2 jenis nominasi
Ø B.Persepsi
popularitas: diukur dengan menanyakkan kepada anak-anak mengenai anak-anak yang
paling di sukai oleh teman sebaya mereka.
Anak-anak bisa
tidak popular(baik yang di tolak atau yang di abaikan)dengan banyak
alasan.Meskipun beberapa anak yang tidak popular bersikap agresif yang lainnya
hiperaktif,tidak perhatian,menarik diri
(Dodge,Coie,Pettit,dan Praice,1990;Masten,&Coastworth,1998;Miucomb Et
Al,1993;A.Wpope,Birman,dan Mumma,1991)
Beberapa anak
yang tidak popular berharap tidak di sukai dan ini menjadi self-fulfilling
prophecy (Rabiner & Coie,1989)
3.Pengaruh Positif dan
Negatif Relasi Teman Sebaya
Kelompok sebaya juga memiliki efek
negative.Efek tersbut biasanya terdapat dalam
pergaulan dalm teman sebaya yang pengutil,mulai menggunakan obat terlarang dan
bertingkah laku antisocial lainnya. Anak remaja sangat rentan terhadap tekanan
untuk meniru, dan tekanan ini dapat mengubah anak bandel menjadi seorang
kriminal (Hartup,1992).
Anak-anak
mendapatkan manfaat dari melakukan banyak hal dari teman sebaya.Mereka
mengembangkan keterampilan yang di perlukan untuk sosiabilitas dan
keintiman,mereka,meningkatkan hubungan,serta mereka mendapatkan perasaan
memiliki.Mereka termotivasi untuk meraih prestasi,mereka belajar kepemimpinan
dan keterampilan komunikasi,kerjasama,peran,dan
aturan(Pellegrini,Kato,Blatchford,dan Baines,2002;Zarbatany,Hartmann,dan
Rankin,1990).
Kelompok sebaya cenderung terdiri dari
satu jenis kelamin,memungkinkan anak laki-laki dan perempuan belajar prilaku
yang sesuai dengan gendernya. Prasangka yang ditimbulkannya adalah sikap
memusuhi aggota kelompok lain,terutama rasial atau etnis.
SCHOOL
A.Contemporary Approaches to Student Learning
Ø 1.Contructivist
and Direct Instruction Approaches
Pendekatan
konstruktivis adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya
individu untuk aktif dalam membangun
pengetahuan dan pemahaman dengan bimbingan dari guru.
Dalam tampilan konstruktivis, guru tidak hanya
berusaha untuk menuangkan informasi kedalam pikiran anak-anak. Tetapi,
anak-anak harus didorong untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan
pengetahuan, merenung, dan berfikir secara kritis dengan pemantauan yang cermat
dan bimbingan yang berarti dari guru.
Seorang
guru dengan filosofi pembelajaran konstruktivis tidak akan menyuruh anak
menghapal informasi tapi akan memberikan mereka kesempatan untuk membangun
pengetahuan bermakna dan memahami materi untuk cara belajar merekaa.
Sebaliknya, pendekatan instruksi bermakna langsung
adalah pendekatan pada siswa yang ditandai dengan arahan dari guru dan kontrol
dari guru dan mempunyai harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa.
Tujuan
penting pendekatan
instruksi langsung adalah
memaksimalkan waktu belajar siswa. Pendukung dari pendekatan konstruktivis
berpendapat bahwa pendekatan instruksi langsung ternyata membuat anak-anak
menjadi pembelajar yang pasif dan tidak cukup menantang mereka untuk berpikir
dengan cara kritis dan kreatif.
Penggemar instruksi langsung mengatakan bahwa
pendekatan konstruktivis tidak memberikan disiplin ilmu yang cukup, seperti
sejarah atau ilmu pengetahuan.
Beberapa
ahli dalam psikologi pendidikan percaya bahwa guru yang efektif menggunakan
pendekatan konstruktivis dan pembelajaran langsung bersamaan daripada hanya
melakukan salah satunya secara ekslusif.
Ø
2.Accountability
Sejak
tahun 1990, publik AS dan pemerintah disetiap tingkatan menuntut meningkatkan
dari sekolah. Salah satu hasilnya adalah penyebaran tes negara untuk mengukur
apa yang telah maupun belum dipelajari siswa. Pendekatan ini menjadi hukum.
Pendukung
berpendapat bahwa pengujian standar diseluruh negara bagian akan memiliki sejumlah
efek positif. Ini termasuk prestasi siswa yang lebih banyak ditingkatkan dalam
mata pelajaran yang diuji agar sesuai dengan harapan.
Kritikus
berpendapat bahwa undang-undang NCLB melakukan lebih banyak hal yang berbahaya
daripada hal yang baik. Kritik satu menyatakan menggunakan tes tunggal
sebagai indikator tunggal kemajuan siswa
dan kompetensi menyajikan pandangan yang sangat sempit dari kemampuan siswa.
Kritik
ini mirip dengan yang ditujukan pada tes IQ, dimana psikolog dan
pendidikan menekankan bahwa sejumlah langkah harus digunakan, termasuk uji
kuis, proyek, pengamatan kelas, dan sebagainya.
Dan
dari pasal 9 bahwa beberapa orang khawatir bahwa di era kebijakan NCLB akan ada
pengabaian siswa yang berbakat dalam upaya untuk meningkatkan tingkat
pencapaian siswa yang tidak melakukanya dengan baik. Pertimbangan juga bahwa
masing-masing negara diperbolehkan untuk memiliki kriteria yang berbeda untuk
menentukan nilai kelulusan atau tidak pada tes untuk dimasukkan NCLB.
Sebuah
analis data NCLB menunjukan bahwa hampir setiap siswa kelas empat di
Mississippi tahu cara membaca tetapi hanya setengah dari siswa massachusetts yang
melakukannya. Jelas, standar Mississippi untuk lulus tes membaca jauh dibawah
orang-orang dari massachusetts.
Dalam analisis terakhir dibeberapa negara,
banyak negara telah mengambil rute aman dan tetap standar untuk prestasi dalam
sekolah di mereka, tampaknya kemungkinan negara untuk menetapkan standar
mereka sendiri mungkin telah menurunkan
standar prestasi.
Pertimbangkan
juga bahwa salah satu tujuan NCLB adalah untuk menutup kesenjangan prestasi
etnis yang mencirikan prestasi rendah oleh mahasiswa ameriak dan afrika latin
dan prestasi yang lebih tinggi dengan siswa asia amerika dan amerika latin.
Namun, ahli terkemuka linda sayang
hammond baru-baru ini menyimpulkan bahwa NCLB telah gagal mencapai tujuan ini.
Dia mengkritik NCLB
dengan penilaian yang tidak tepat dalam pembelajaran bahasa inggris untuk siswa
dengan kebutuhan khusus, insentif yang kuat untuk mengecualikan siswa
berprestasi rendah dari sekolah untuk mencapai target skor tes, dan kekurangan
guru berkualifikasi tinggi disekolah kebutuhan terus meninggi .
Meskipun menuai kritik,
departemen pendidikan AS berkomitmen untuk menerapkan NCLB dan sekolah membuat
akomodasi un tuk memenuhi persyaratan hukum. Memang, pendidikan yang paling
mendukung pentingnya harapan dan standar yang tinggi untuk keunggulan siswa dan
guru.
3.Socioeconomic Status and Ethnicity
Ø 1.The Education of Student From Low-Income Backgrounds
Banyak
anak-anak dalam masalah kemiskinan mencoba mengatasi penghalang dalam proses
pembelajaran. Mereka mempunyai orangtua yang tidak berasal dari standar edukasi
yang tinggi, yang tidak pandai membaca dan tidak memiliki cukup uang untuk
membayar barang-barang dan pelatihan untuk pendidikan, seperti buku, perjalanan
kekebun binatang dan museum.
Anak-anak tersebut mungkin kekurangan gizi dan
tinggal diarea dimana tindak kejahatan terjadi. Dibandingkan dengan sekolah
dari area berpendapatan tinggi, sekolah dari berpendapatan rendah lebih banyak
memiliki siswa yang mempunyai nilai prestasi tes yang rendah, tingkat kelulusan
yang rendah dan presentasi kecil untuk melanjutkan ke universitas.
Mereka memiliki banyak guru yang berumur muda
dan memiliki pengalaman sedikit, mereka lebih memiliki semangat yang tinggi
untuk belajar. Sedikit seolah berpendapatan rendah menepatkan murid-murid yang
belajar dilingkungan yang kondusif (yang layak).
Kebanyakan
gedung-gedung sekolah dan ruangan kelas sudah tua, mudah hancur, itu adalah
contoh dari kondisi yang tidak menyenangkan yang diobservasi oleh jonathan kozol (2005) pada banyak sekolah termasuk di south bronk
dikota new york, seperti yang dijelaskan pada bagian awal chapter ini untuk
bacaan lebih lanjut mengenai sekolah dan anak-anaka dari keluarga kurang mampu,
lihatlah selingan diversity in life, span development interlude
Ø 2.Ethnicity
in Schools
Lebih dari sepertiga siswa afrika, amerika dan
hampir sepertiga dari siswa latin bersekolah di 47 sekolah besar diamerika
dibandingkan 5% dari siswa kulit putih dan 22% dari siswa dalam kota masih
tersisa adalah kekurangan dana dan tidak memeberikan kesempatan yang cukup bagi
anak untuk belajar secara efektif (Healy,2009)
.
Bahkan
diluar sekolah dalam kota pemisahan sekolah (Gollnick dan Dagu,2009;Nieto dan Pertanda,2008)
hampir sepertiga dari semua mahasiswa
dan afrika latin mengobati sekolah
dimana 90% atau lebih dari murid-murid adalah dari group (kelompok) minoritas
(Banks,2008) .
Antropolog
dari amerika john ogbu (1989) mengusulkan bahwa siswa etnis minoritas ditempatkan dalam posisi lebih
rendah dan ekspoitasi anak. Dalam sistem pendidikan amerika, berikut ini
beberapa strategis untuk meningkatkan hubungan diantara siswa beragam etnis:
1.
Turn the class into a jigsaw classroom.
Jigsaw anonson mengembangkan konsep dari ruang
kelas jigsaw dimana murid-murid berasal dari latar belakang budaya yang berbeda
ditempatkan pada kelompok untuk bekerja sama dimana mereka harus menyusun
beberapa bagian berbeda dan sebuah proyek untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.Encourage students to have positive contact
with diverse other students.
Dengan siswa yang berbeda mereka harus melihat
satu sama lain sebagai individu bukan bagian dari kelompok tertentu ( kelompok
yang homogen ).
3.Reduce bias.
Mengurangi bias dengan cara mengubah pandangan
anak-anak yang berasal dari beragam etnis dan kelompok budaya, memilih bahan
permainan dan aktivitas diruangan kelas yang meningkatkan pengertian mengenai
budaya, membantu siswa melawan stereotipe dan bekerja sama dengan orang tua
untuk mengurangi pandangan bias dan prasangka dirumah.
4.View the school and community as a team.
James corner mengatakan pendekatan tim
merupakan cara terbaik untuk mengajar anak-anak
3 aspek penting dalam
dari corner projek untuk perubahan adalah:
·
Penguasaan dan managemen tim yang berkembang
·
Sesuai dengan rencana-rencana sekolah,
strategi, assesment, dan perkembangan perencanaan karyawan.
·
Kesehatan mental atau dukungan tim sekolah
·
Program orang tua
Lomer percaya bahwa keseluruhan bagian
sekolah harus saling bekerja sama.
1.
Be a competent cultural mediator.
Guru-guru harus dapat berperan sebagai
mediator budaya dengan cara menjadi lebih peka terhadap bias-bias pada
interaksi dalam, lebih mempelajari mengenai kelompok etnis yang berbeda, lebih
peka terhadap perilaku etnis anaka-anak melihat siswa dengan sudut pandang yang
positif dan berfikir positif mengenai orang tua agar terlibat sebagai partner
guru dalam mengajar anak.
3.Cross-Cultural
Comparisons of Achievement
Anak-anak
di Amerika lebih berprestasi daripada teman-teman mereka di berbagai negara
lain. Namun, hubungan keterampilan yang rendah dari anak-anak di Amerika pada
bidang matematika dan ilmu pengetahuan
dalam perbandingan dengan teman-teman mereka dari beberapa negara lainnya,
terutama negara-negara di Asia, telah dipublikasikan secara besar-besaran dalam beberapa dekade belakangan ini.
Pada
tahun 2003, siswa-siswa kelas empat di lima negara ( Singapore, Chinese Taipe,
Japan, Hong Kong dan Inggris) mempunyai nilai matematika yang lebih tinggi
daripada siswa-siswa Amerika. Pada perbandingan ilmu pengetahuan, siswa-siswa
kelas empat dari 11 negara (nilai yang tertinggi dari Singapore, Hong Kong,
Japan, dan Chinese Taipe) mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
teman-teman mereka dari Amerika.
Harold
Stevenson dan rekan-rekannya telah menyelesaikan lima perbandingan
cross─cultural dari siswa-siswa di Amerika, China, Taiwan dan Jepang. Pada
penelitian ini, siswa Asia secara konsisten lebih terampil dari siswa Amerika
pada bidang matematika. Dan, semakin lama siswa-siswa berada di sekolah, maka
semakin lebar jurang pemisah antara siswa Asia dan Amerika─perbedaan yang
paling rendah adalah pada kelas satu, dan perbedaan paling tinggi adalah pada
kelas sebelas.
Untuk
lebih mengetahui penyebab-penyebab dari perbedaan yang besar dari
cross─cultural tersebut, Stevenson dan rekan-rekannya menghabiskan banyak waktu
untuk mengobservasi di dalam ruangan kelas, seperti melakukan interview dan
survey terhadap para guru, siswa dan orang tua. Mereka menemukan bahwa
guru-guru Asia menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk mengajarkan
matematika dibandingkan guru Amerika.
Sebagai
contoh, lebih dari seperempat waktu belajar-mengajar di dalam kelas pada
tingkat pertama dihabiskan dengan mengajarkan matematika di negara Jepang,
dibandingkan dengan sepersepuluh waktu yang dihabiskan oleh negara Amerika
untuk mengajarkan matematika pada siswa tingkat pertama. Selain itu, siswa Asia
berada di sekolah dalam rentang waktu 240 hari per tahun, sedangkan siswa Amerika
hanya 178 hari.
Perbedaan-perbedaan
yang lainnya juga ditemukan pada orang tua Asia dan Amerika. Orang tua Amerika
sepertinya lebih percaya bahwa prestasi matematika anak-anak mereka merupakan
kemampuan bawaan lahir, sedangkan orang tua Asia lebih mengatakan bahwa
prestasi matematika anak-anak mereka merupakan hasil dari usaha dan latihan.
Sehubungan
dengan perbedaan-perbedaan pada orang tua Asia dan Amerika terdapat penjelasan
mengenai usaha dan kemampuan, Carol Dweck (2006) menggambarkan pentingnya mindset
anak-anak. Ia menyimpulkan bahwa setiap individu memilki satu dari dua mindset:
1. fixed mindset, dimana mereka percaya
bahwa kualitas mereka telah terukir pada batu dan tidak dapat diubah.
2. growth mindset, dimana mereka
percaya bahwa kualitas mereka dapat berubah dan meningkat sesuai dengan usaha
mereka.
Dweck (2006) berargumen bahwa mindset
individu dipengaruhi apakah mereka akan menjadi optimis atau pesimis, apa yang
akan menjadi tujuan mereka dan seberapa keras mereka akan bekerja keras untuk mencapai
tujuan mereka, dan prestasi mereka. Dweck mengatakan bahwa mindset telah mulai
untuk diasah pada masa anak-anak ketika anak-anak berinteraksi dengan orang
tua, guru, dan pelatih, yang didalam diri mereka telah ada fixed mindset atau
growth mindset.
Selain
itu, pada penelitian Stevensons, orang tua Amerika juga memiliki ekspektasi
yang rendah terhadap pendidikan dan prestasi anak-anak mereka daripada orang
tua Asia. Menurut pandangan Stevensons, perubahan yang sangat dibutuhkan dalam
dunia pendidikan di Amerika adalah semakin tingginya ekspektasi terhadap
prestasi.
Ahli
yang lainnya, seperti Phylis Blumenfeld, Jacquelynne Eccles dan Joyce Epstein
berkesimpulan bahwa semakin tinggi standart ekspektasi terhadap prestasi begitu
pula dengan perhatian guru terhadap setiap individu anak-anak, mengikutsertakan
anak-anak dalam pembelajaran tugas yang bermakna dan menarik, dan hubungan yang
positif antara sekolah dengan keluarga siswa, merupakan aspek-aspek utama dalam
meningkatkan prestasi akademik anak-anak di Amerika.
KESIMPULAN
Masa ini terjadi pada umur 6 - 7 tahun sampai
kurang lebih 12 – 13 tahun. Periode ini dimulai setelah anak melewati masa
degil, di mana proses sosialisasi telah dapat berlangsung lebih efektif, dan
menjadi matang untuk memasuki sekolah.
Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok,
Belajar setia kawan, Belajar tidak bergantung pada orang dewasa, Belajar
bekerja sama, Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya,
Belajar menrima tanggung jawab, Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
(sportif), Mempelajari olah raga dan permainan kelompok Belaja rkeadilan
dan demokrasi
Sumber
Santrock,J.W.2009.Life Span
Development(12th Ed).New York:McGraw-Hill Book co.
Papalia & Olds.2004.Human Development.New
York:McGraw-Hill Book Co.
Elizabeth
B.Hurlock.Psikologi Perkembangan.Bahasa Indonesia Erlangga,Edisi Kelima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar