Ketika
masih kecil, kita semua memiliki cita-cita. Ada yang ingin jadi insinyur,
dokter, guru, tentara dan berbagai cita-cita lainnya. Di masa kanak-kanak tema
tentang cita-cita ini sangat sering ditanamkan baik oleh guru, orangtua ataupun
sesama teman.
Apakah ada yang
salah dengan cita-cita tersebut? Sebenarnya tidak. Namun ada satu hal yang
penting bahwa seringkali seseorang bercita-cita menjadi orang lain. Kita takjub
karena kesuksesan seseorang dan ingin seperti dia. Ingin hebat bermain bola
seperti Ronaldo, jagoan basket seperti Kobe Bryant atau Shaquille
O'Neal, ingin jadi pengusaha sukses seperti Bob Sadino atau menjadi
pemimpin seperti Bung Karno. Karena obsesi tersebut, kita berusaha
mencetak diri kita seperti orang lain, yang sadar atau tidak sebenarnya bisa
jadi melenceng dari diri kita yang sebenarnya.
Lantas
bagaimanakah seharusnya seseorang bercita-cita? Jawaban sederhana menurut saya
adalah menjadi diri sendiri, be your self!
Bolehkah Seseorang Bercita-cita?
Apakah ada yang
salah dengan cita-cita tersebut? Sebenarnya tidak. Namun ada satu hal yang
penting bahwa seringkali seseorang bercita-cita menjadi orang lain. Kita takjub
karena kesuksesan seseorang dan ingin seperti dia. Ingin hebat bermain bola
seperti Ronaldo, jagoan basket seperti Kobe Bryant atau Shaquille
O’Neal, ingin jadi pengusaha sukses seperti Bob Sadino atau menjadi
pemimpin seperti Bung Karno. Karena obsesi tersebut, kita berusaha
mencetak diri kita seperti orang lain, yang sadar atau tidak sebenarnya bisa
jadi melenceng dari diri kita yang sebenarnya.
Menjadi Diri Sendiri
Lantas bagaimanakah seharusnya seseorang bercita-cita?
Jawaban sederhana menurut saya adalah menjadi diri sendiri, be your self!
Ada sebuah hadis yang sangat luar biasa berbunyi:
“Man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”
“Barangsiapa mengenal (arif) terhadap jiwa/diri
(nafs)-nya, maka sesungguhnya dia akan mengenal (arif) pula terhadap
Tuhan-nya, Pemelihara-nya (Rabb).”
Hadis ini sangat
populer di kalangan para sufi dan pengamal Tasawuf meskipun oleh sebagian
kalangan dianggap hadis yang lemah.
Menilik bunyi hadis
di atas mengisyaratkan banyak orang tidak mengenal dirinya sendiri. Karena itu
orang tersebut sebenarnya juga tidak mengenal Tuhan-nya. Padahal setiap diri
manusia adalah unik dan memiliki tugas yang unik pula. Setiap jiwa dimudahkan
untuk apa dia diciptakan dan seharusnya ke arah tersebutlah seseorang
meluruskan cita-citanya.
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
(Al-Qur’an Surat Al-A’raf 7:172)
Manusia pernah
bersaksi di hadapan Tuhan-nya tentang tugasnya sebelum dilahirkan dan
diturunkan ke bumi. Tugas dan jati diri itulah yang harus ditemukan kembali
untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Mandat.
Langkah
Mengenali Diri
Lantas bagaimana
caranya menjadi diri sendiri? Bukankah proses tersebut sangat sulit?
Benar bahwa setiap
orang bertanggung jawab dalam proses tersebut jika memang ingin hidupnya
bernilai. Proses tersebut membutuhkan kesungguhan dan ketekunan
yang luar biasa sampai Allah berkenan menjelaskan siapa diri kita yang
sesungguhnya.
Langkah
pertama
yang bisa dilakukan adalah dengan membaca kembali kitab kehidupan kita di masa lalu.
Siapa orangtua kita, apa yang menjadi minat kita, pendidikan seperti apa yang
pernah kita jalani, orang seperti apa yang pernah kita jumpai dalam hidup.
Tidak ada yang kebetulan dalam kehidupan seseorang. Apa yang pernah terjadi dan
kita alami merupakan sebuah isyarat penting dalam proses mengenali diri kita di
masa depan.
Kenali pula tentang diri kita sejauh yang bisa dipahami.
Mengapa kita suka mengeluh untuk hal-hal tertentu, mudah marah dan tersinggung,
sulit untuk bersyukur, sulit untuk bisa menerima keadaan yang dihadirkan dalam
kehidupan kita.
Langkah
kedua
adalah keterampilan membaca kehidupan. Apa yang terjadi pada diri,
naik turunnya proses kedekatan kepada Tuhan. Ujian dan tantangan yang
berbeda-beda yang dialami seseorang. Semua hal tersebut jika dibaca dengan baik
akan membantu seseorang untuk melihat arah hidupnya, menemukan potensi diri
sejatinya, bukan sekadar cita-cita yang tidak berdasar. Sebagai panduan, Allah
telah menurunkan kitab-Nya yang merupakan panduan berjalan setiap insan. Baca
dan pelajarilah semoga cahayanya akan menerangi kehidupan kita.
Terakhir tentunya bersikap istiqomah,
teguh pendirian, ajeg dalam menjalani suka duka kehidupan dan senantiasa
belajar darinya. Alangkah berbahagianya jika dalam perjalanan tersebut
seseorang menemukan guru sejati yang dapat memandu dan menjelaskan
rambu-rambu yang ada dalam perjalanan tersebut.
Saya bukanlah ahli di bidang tersebut dan hanya seseorang yang
sedang belajar menjalaninya. Langkah di atas hanyalah pengantar singkat untuk
mengajak kita berpikir dan bertindak lebih jauh. Jika Anda ingin
bersungguh-sungguh, belajarlah dari orang-orang yang dapat dipercaya. Betapa
banyak kitab warisan orang-orang yang telah terbimbing yang dapat kita pelajari
dan amalkan. Orang yang bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam perjalanannya
mustahil tersesat.
Karenanya, jadilah
diri sendiri, bukan menjadi orang lain. Allah telah memberikan potensi tinggi
kepada setiap orang yang bekerja sesuai dengan kodrat dirinya. Jika hal
tersebut ditemukan, setiap orang akan menjadi yang terbaik di bidangnya. Dia
akan menjadi sang bintang yang bersinar atau menjadi sang pohon yang senantiasa
berbuah dan memberikan kebaikan.
Jadi tunggu apa lagi? Segeralah berkemas dan bersiap-siap.
Mulailah berjalan dan mengambil perbekalan yang diperlukan. Siapa yang tahu
kapan kita akan mati? Setidaknya jika umur kita pendek, semoga kita termasuk
orang yang sedang dalam perjalanan menuju-Nya, mengenali diri kita untuk
mengenali Sang Rabb.
Jangan hiraukan orang-orang di sekeliling Anda yang
menertawakan atau heran. Sesungguhnya siapakah yang lebih patut ditertawakan,
orang yang sedang bersungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, atau orang yang
sebenarnya bodoh dan segera merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya saat
ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar